28 November, 2021

Sejarah Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri)


Hari Korps Pegawai Republik Indonesia atau Hari Korpri diperingati setiap tanggal 29 November.
Tahun 2021 ini, Hari Korpri merayakan hari jadinya ke-50 tahun.

Lahirnya Korpri tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, tepatnya tanggal 29 November 1971.
Korpri atau Korps Pegawai Republik Indonesia adalah suatu lembaga yang mengayomi seluruh pegawai negeri atau sekarang yang lebih dikenal dengan istilah aparatur sipil negara atau ASN.
Bagaimana asal mula dibentuknya Korpri dan apa tema yang diusung dalam perayaannya yang ke-50 tahun?
Korpri atau Korps Pegawai Republik Indonesia dimulai dari masa penjajahan Belanda.
Melansir laman resmi BKPPD Pasuruan, saat itu, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda yang berasal dari kaum bumi putera.
Kedudukan pegawai pun berada di kelas bawah karena pengadaannya didasarkan pada kebutuhan penjajah.
Pada saat beralihnya kekuasaan Belanda kepada Jepang, secara otomatis seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Di saat yang bersamaan, akhirnya seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok besar:
1. Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI
2. Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator)
3. Pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).


Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, seluruh pegawai RI, pegawai RI non Kolaborator, dan pegawai pemerintah Belanda dijadikan Pegawai RI Serikat.
Era RIS, atau yang lebih dikenal dengan era pemerintahan parlementer diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet.
PNS yang seharusnya berfungsi melayani masyarakat (publik) dan negara menjadi alat politik partai.
PNS pun menjadi terkotak-kotak bahkan prinsip penilaian prestasi atau karir pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan.
Kenaikan pangkat PNS misalnya dimungkinkan karena adanya loyalitas kepada partai atau pimpinan Departemennya dan afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai mana ia berasal.
Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa.
Melalui Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1961 ditetapkan bahwa … Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik (pasal 10 ayat 3).

Ketentuan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya, tetapi disayangkan bahwa, PP yang diharapkan akan muncul ternyata tidak kunjung datang.
Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S.
Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis.
Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang Korpri.
Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, Korpri “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2).
Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI” namun Korpri kembali menjadi alat politik.
UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi Korpri dalam memperkuat barisan partai.
Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional Korpri, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.
Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas Korpri, sehingga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR.
Akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa Korpri harus netral secara politik.
Berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme.


Korpri bergerak berdasarkan Panca Prasetya Korpri yaitu:
  1. Setia dan taat kepada negara kesatuan dan pemerintahan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta Memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara;
  3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan;
  4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan korps pegawai Republik Indonesia;
  5. Menegakkan kejujuran keadilan dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.

Senantiasa berpegang teguh pada Panca Prasetya Korpri PP Nomor 12 tentang Perubahan atas PP Nomor 5 Tahun 1999 muncul untuk mengatur keberadaan PNS yang ingin jadi anggota Parpol.
Dengan adanya ketentuan di dalam PP ini membuat anggota Korpri tidak dimungkinkan untuk ikut dalam kancah partai politik apapun.
Korpri hanya bertekad berjuang untuk mensukseskan tugas negara, terutama dalam melaksanakan pengabdian bagi masyarakat dan negara.

Tema Hari Korpri 2021
HUT Korpri tahun ini mengambil tema “ASN Berakhlak Melayani Sepenuh Hati" (*)



Sumber: https://kaltim.tribunnews.com/2021/11/27/tema-hut-ke-50-korpri-2021-dan-sejarah-hari-korpri-yang-diperingati-setiap-tanggal-29-november

Tidak ada komentar:

Posting Komentar